Borok 2016, Mari Sembuhkan di 2017

Tahun baru, segala harapan yang baik terlintas di benak kita. Seperti kata Gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama, dia mengharapkan warganya sehat, dapat bekerja, dan kantongnya selalu berisi.

2016 sebenarnya adalah harapan baru buat kita. Tapi tak ada yang menyangka akan menjadi suatu kisah perjalanan yang spektakuler bagi bangsa Indonesia.

Sebagian besar rakyat senang melihat negaranya perlahan membangun, sampai seluruh pelosok negeri.

Yang dahulu tak terpikirkan akan dikerjakan, dibangun oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur di halaman depan perbatasan dengan negara tetangga terus dibangun.

Bahkan ada terobosan berani, harga BBM diseluruh Indonesia disamakan oleh Pertamina.

Dalam bidang olahraga, telah ada sedikit terobosan, ada anggaran untuk pensiun bagi atlet yang meraih medali di olimpiade.

Beberapa cabang olahraga unggulan menghasilkan medali. Begitu juga sepakbola yang perlahan mulai membaik.

Pemberantasan korupsi, narkoba dan kriminal juga makin digiatkan. Termasuk juga pembasmian teroris dan separatis.

Memang belum semua berhasil. Dua tahun untuk membenahi setumpuk masalah, ditambah gejolak global membuat pembangunan Indonesia melambat.
Penyediaan infrastruktur tapi belum semua bisa merawatnya. Harga sembako, masih fluktuatif, namun sudah lebih baik.

Pemerintah juga sudah cukup tegas. Jika memang ada yang tak mampu memenuhi target berat oleh negara akan diganti sampai ke tingkat Menteri.

Tapi jelang paruh ketiga 2016, oposisi yang tak puas karena keadaan tidak sesuai dengan keinginan mereka, mulai berulah. Mereka menuntut solusi cepat, merebut kekuasaan melalui cara yang tidak sportif.

Target besarnya adalah menurunkan/mengkriminalisasi Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, bahkan Presiden Joko Widodo.

Karena isu berhembus, kedua orang ini nanti akan berkolaborasi dalam Pemilu Presiden 2019. Ini tak disukai oposisi. Karena menganggu kepentingan mereka selama ini di negara kita.

Isu agama dan berita-berita sampah, dipakai untuk menjatuhkan Ahok dan Jokowi. Untung, rakyat dan aparat sigap menanganinya, sehingga tak terjadi peristiwa 1998.

Rupanya oposisi yang menggandeng kaum ekstrimis sudah lama merencanakan hal ini. Bahkan sejak era reformasi dimulai. Dan mereka tidak suka jika Jokowi dan Ahok menggagalkan kepentingan mereka.

Mereka yang memang terdidik, masuk ke pemerintahan. Dan ketika sudah merasa kuat, mereka mengguncang Indonesia. Didukung jaringan yang luas hingga ke luar negeri, dan dana yang melimpah, mereka mencoba makar terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Memakai topeng agama, padahal tujuannya politik. Ditambah penggunaan sosial media, paham esktrim mereka tersebar luas. Meskipun itu sifatnya fitnah, tapi itu dilakukan terus menerus. Lama-lama sebagian rakyat berpikir, fitnah itu adalah benar.
Kementerian Kominfo mencatat, ada 800 ribu situs dan media sosial yang menyebarkan berita fitnah sampai sekarang.

Syukurlah masih banyak rakyat yang waras, sehingga pemerintahan Jokowi/JK masih berdiri tegak hingga saat ini.

Mungkin memang kita harus mengalami peristiwa ini, agar sadar bahwa ancaman itu tidak hanya dari luar, juga dari dalam, bahkan di tubuh pemerintah sendiri.

Pada 2017, kaum nasionalis bertekad akan introspeksi diri. Bahwa kita tak mungkin lagi diam. Terus sebarkan semangat persatuan, dan membangun pengertian yang rasional antar umat beragama di sini.

Pemerintah juga harus berbenah. Urus negara dan rakyat, agar oposisi tak lagi menemukan celah untuk dipakai sebagai propaganda kotor. Selain itu juga waspada terhadap ideologi ekstrim dari luar negeri, agar bangsa tak terpecah belah. @baronpskd

Comments

Popular Posts