Perubahan Yang Tidak Memuaskan Semua Pihak

Mengelola sebuah daerah bukan pekerjaan mudah. Ada saja kekurangan yang dikeluhkan warganya.
Mengelola daerah yang relatif kecil seperti Depok, Jawa Barat saja bukan pekerjaan mudah.
Apalagi jika itu Jakarta? Wilayahnya cukup besar, 660 km2. Dipadati 10 juta orang di waktu siang, malam 8 juta orang.
Jadi suatu hal yang kompleks. Kepentingan warganya harus berbenturan dengan kepentingan nasional, pengusaha dan internasional.
Tak bisa dihindari, karena status ibukota negara.



Salahnya pemerintahan dulu, Jakarta ingin menjadi kota untuk segalanya.
Akibatnya, kemacetan, kepadatan penduduk dan kesemrawutan.

Masalah banjir juga masih menjadi pekerjaan rumah Jakarta.
Kompleksnya masalah masih ditambah dengan berbagai macam kepentingan.
Dari politisi lokal, nasional, sampai internasional, punya kepentingan disini.



Kepentingan itu bukan hanya kepentingan yang baik untuk kota dan warganya. Kepentingan itu tak jarang hanya diperuntukkan bagi individu dan kelompoknya.

Dalam situasi seperti ini, siapapun pemimpin di Jakarta tak boleh lembek. Tak boleh menurut pada segolongan orang yang punya afiliasi politik yang tak bermanfaat bagi sebagian besar warga.

Pada akhirnya memang ada yang harus mengalah. Warga pesisir Jakarta dan bantaran sungai mau tak mau harus pindah ke rumah susun sewa.

Khususnya di pesisir Jakarta Utara, banyak kepentingan disana. Bukan hanya soal reklamasi. Pembangunan tanggul laut sangat penting untuk mencegah banjir rob. Belum lagi kepentingan pengusaha properti. Terbatasnya lahan di Jakarta menyebabkan mereka harus membuat pulau buatan.
Karena harga membuat pulau buatan itu lebih murah dibanding membeli lahan di daratan. Yang harganya sudah semakin tak masuk akal.

Nanti uang pajak reklamasi itu bisa masuk ke Pemprov DKI, untuk membiayai pembangunan Jakarta yang selama ini terabaikan.

Gubernur dan jajarannya harus bersih dari korupsi. Karena korupsi ini yang menyebabkan pembangunan terhambat. Gubernur Jakarta harus bisa menjadi payung bagi warganya. Jangan berpikiran praktis, yang menguntungkan bagi dia, itu yang didahulukan. Skala prioritas harus dikedepankan.

Gubernur sejak Joko Widodo menjabat, sudah bisa memenuhi sebagian harapan sebagian besar warganya. Penerusnya, Basuki Tjahaja Purnama, dan wagubnya, Djarot Syaiful Hidayat, menunjukkan bahwa mereka adalah pejabat yang diinginkan warga dan pemerintah pusat. Mereka tegas namun punya sifat mendidik dan sayang pada sebagian besar warganya.

Tak sepenuhnya memang kebijakan mereka memenuhi ekspetasi semua pihak, tapi secara garis besar sudah dijalankan oleh BaDja.

Suara sumbang pasti ada, dari warganya sendiri, bahkan dari luar Jakarta. Mereka adalah yang berambisi menjadi DKI 1. Sayangnya menghalalkan segala cara, sampai menggandeng kaum radikal Islam. Alhasil, jadilah Pilkada DKI 2017 sebagai yang terkotor sepanjang sejarah.

Gubernur Jakarta adalah posisi incaran politisi dan partai manapun. Karena jika bisa sukses disini, jabatan Presiden adalah langkah selanjutnya.

Pemerintah memang sedang mengambil ancang-ancang untuk memindahkan ibukota. Kabarnya di Kalimantan. Agar berada ditengah-tengah, sehingga pembangunan bisa merata ke Indonesia barat dan timur. Selain itu karena Jakarta memang sudah padat.

Tapi perlu pengkajian dan kebijakan yang matang. Karena setidaknya dibutuhkan biaya Rp 100 Triliun untuk membuat ibukota baru.

Comments

Popular Posts